Sepulang dari expedisi Ziaroh Wali Songo pada mei-juni 2016, saya memilih jalur tengah yaitu dari madura-surabaya-mojokerto-kediri-nganjuk-madiun dan seterusnya sampai di jogja. Sesampainya di hutan mantingan Ngawi saat menuruni jalan, setelah tanjakan yang nggak ada ujungnya, sebuah motor matic menyalipku pelan dari belakang dan menyodorkan uang 20.000 rupiah dan orang itu bilang “tolong doakan saya mas”, lalu saya menjawab ya... Sambil tersenyum.
Kemudian saat istirahat saya berfikir 20.000 dapet doa apa ya...? Hehehehe. Bukan saya mau menyepelekan uang 20.000, disini saya berfikir ketika semua orang mengukur segalanya dengan uang. Bukan hanya dalam hal tolong menolong saja, melainkan uang sekarang juga dijadikan tolak ukur bagi para penceramah, di dunia televisi ataupun nyata.
Ketika segala sesuatu diukur dengan uang dimanakah harga diri seorang manusia berada, apa iya uang dapat membeli harga diri mereka..? Ya begitulah sekarang yang terjadi, dari mulai penceramah hingga pelacur. sehingga, hilangnya makna pada setiap diri manusia. Padahal ilmu yang di dapat oleh para penceramah tidak seberapa mahalnya.
Memang ahir-ahir ini kita sudah susah mencari sebuah keikhlasan dalam diri seseorang, sehingga manusia yang ada di dalam otaknya hanyalah uang, uang, dan uang. Sedangkan derma sering kita buang jauh dalam fikiran kita. Manusia memang butuh uang. Namun, tak selamanya perbuatan harus dibalas dengan uang, karena Tuhan akan memberikan balasan yang lebih kepada kita dialam keabadian.
Nah kembali lagi kecerita utama, orang itu lantas saya doakan sama dengan orang-orang yang setiap kali saya beribadah doakan. yang utama ialah kesehatan, karena sehat adalah sebagian dari karunia tuhan yang tak ternilai harganya. Semoga kita tetap diberikan karunia kesehatan dan ketentraman dalam mengarungi hidup didunia ini dan selalu mengabdikan diri kepada Tuhan.
Semoga bermanfaat, yang nulis ini hanya orang gila yang mencoba untuk waras. Jadi nggak usah di baca ya.... Wkwkwkw.....
Sukurlah nek sadar lek wong edan...
BalasHapusCanggih wong siji iki
Hapus