16km sebelum memasuki tugu km nol indonesia, kami ber henti di sebuah warung klontong, pemiliknya bernama wak romlah yang berusia sekitar 76th, awalnya kami hanya ingin membeli logistik untuk makan. Namun, kami sedikin membuka obrolan tentang harga kebutuhan pokok di sabang, dan wak romlah malah banyak bercerita tentang perekonomian di ujung indonesia bagian barat ini.
Jarak warung wak romlah dengan kota sabang sekitar 16km, dan di kota sabanglah wak romlah belanja, bukan tempat yang dekat. Wak romlah harus menyewa becak
hingga membayar sebesar 100 ribu rupiah sekali angkut. Dan yang wak romlah sayangkan kenapa masih banyak orang yang protes ketika belanja. Agak mahal lah, kok beda dgn di banda lah, padahal bedanya harga Cuma seribu rupiah paling besar,itupun wak romlah hanya mengambil untung lima ratus rupiah saja.
Dari protes pembeli diatas wak romlah menuturkan kepada saya, “begini dek, disini kami jauh dengan kota, apalagi banda aceh, saya ambil contoh dari bensin, 37L Bensin kami hanya mengabil untung tiga liter saja dan itupun msh banyak orang beli bensin yang rotes, kok mahal kali bensinnya,”.
Padahal harga bensin premium g beda jauh dengan di jawa, bensin ecer premium di ujung sabang sebotol seharga 10.000 rupiah, di sabang kita sangat sulit menemukan pertalit atau pertamax, karena kalo di hitung perbotol bisa mencapai 15.000 rupiah. Premium 10.000 perbotol aja masih banyak yang protes,apalagi kalau jual pertalit seharga 15.000 heuheuheu.
Tidak hanya bensin, semua kebutuhan pokok di sabang memang agak sedikit mahal, karena dari banda ke sabang kita harus naik kapal terlebih dahulu, Dan mobil yang mengangkut logistik dari banda ke sabang bisa kena ongkoa kapal 100.000 bahkan lebih, jadi wajar saja kalo harga sembako dan kebutuhan lainnya sedikit mahal di sabang, apalagi wak romlah yang tinggal jauh dari kota sabang.
Sedikit latar belakang wak romlah, beliau memiliki dua anak laki-laki dan perempuan, anak perempuannya sudah berkeluarga dan memiliki anak dua, tapi ketika sunami datang 2004 anak wak romlah sekeluarga terbawa oleh derasnya gelombang sunami. Kebetulan wak romlah tinggal agak jauh dari pantai dan dekat ke bukit, dan anaknya tinggal di bibir pantai pulau weh. Sekarang yang ada hanya anak lakinya yang bekerja sebagai nelayan dan kedua cucu wak romlah yang baru lulus SMA dan akan melanjutkan ke akpol. Cucu lelaki itulah yang sering menengok wak romlah di rumahnya. Ya wak romlah tinggal seorang diri di rumahnya, dan membuka toko kelontong kecil untuk menukupi kehidupannya.
Dari cerita diatas, bersyukurlah kita yang tinggal dengan segala kecukupan dan kemudahan. Masih banyak saudara kita di seluruh penjuru nusantara yang masih sulit merasakan nikmatnya kehidupan. Kita kadang masih lebih banyak mengeluh dengan kecukupan yang ada. Namun, seperti wal romlah malah sangat menikmati hidupnya dengan keterbatasan yang ada.
Komentar
Posting Komentar