Aku batu, dan kau adalah air yang menetes menghancurkan kesedihanku. Seindah-indahnya perjalanan ialah menuju rumahmu, dan sesunyi-sunyinya perjalanan ialah ketika kau pergi meninggalkanku. Angin mencumbu daun pada sore yang ranum, aku masih tertidur pulas dalam mimpiku untuk hidup bersamamu.
Aku melihat sebuah danau di tengah hutan dengan air yang jernih, dan aku berkaca padanya, aku melihat diriku yang sebenarnya, ternyata diriku tak lebih dari seorang yang buruk dan keji, dan mungkin memilikimu adalah bukan sebuah pilihanku untuk melanjutkan kehidupan yang teramat singkat ini. Namun, aku bingung mengapa aku sulit untuk melupakanmu pada setiap jejak langkah yang kualami. Sepertinya kau sudah mendarah daging, dan aku merasa aku bukan orang yang pantas untukmu. Aku bimbang, dan aku merasa, aku lelaki yang sangat lemah, aku tak mampu menampung kesedihanku sendiri.
Dan beberapa jam saja tak ada kabar darimu, mataku meneteskan air mata. Tapi kau tak tahu semua itu, apa yang aku alami selama ini, menahan, menahan, menahan, dan bersabar. Sementara kau di sana, tak satu pun rasa untuk ku.
Tak terasa perjalananku semakin jauh dari bibir pantai, dan aku ingin kembali pada sebuah rumah di mana ibu berada, dan aku duduk di pangkuannya dengan beberapa kesedihanku yang kerap kubawa dalam perjalanan ku.
Terimakasih untukmu yang sudah pernah singgah lama dalam perjalananku, dan maaf aku belum bisa menjadi yang terbaik untukmu.
(aku menulis dengan air mata)
Komentar
Posting Komentar