Langsung ke konten utama

Surga Kecil Maluku Utara

Tak terasa sudah 16 hari lamanya saya tinggal di kota Ternate, kota yang memiliki letak di barat pulau Halmahera ini memiliki keindahan alam dan keindahan bawah laut yang luar biasa, tak hanya itu Ternate juga memiliki sejarah peradaban yang panjang, dari mulai kerajaannya yang besar pada abad ke 12, masuknya Portugis dan Spanyol pada sekitar abad ke 18.

Menjadikan Ternate sebuah kota yang memiliki peradaban yang sangat pesat dari dulu hingga sekarang dengan kota di sekelilingnya, bahkan Ternate maju terlebih dahulu ketimbang jawa.

Tanggal 9 kapal bersandar di pelabuhan Pelni kota Ternate, dan dari tanggal 10-15 saya mengikuti agenda pameran buku yang bertajuk “Ternate Book Festival”, acara itu dihadiri oleh beberapa narasumber sastrawan dari Yogyakarta dan nara sumber lokal, ada pak Edi Mulyono, Gus Muhidin M Dahlan, dan masih banyak lagi.

Setelah acara usai saya melanjutkan penjelajahan di tanah Ternate, dari mulai naik gunung Gamalama dengan ketinggian 1715 Mdpl, sebelumnya saya membayangkan gunung ini tidak jauh dari gunung andong atau gunung perahu di Jawa yang saya kira bisa naik satu hari tanpa bermalam di atas.


Ternyata tidak, karena titik awal pendakian masih di ketinggian 300 mdpl Jadi kita lebih lama sampai di puncak sampai memakan waktu 1 hari 2 malam, perjalanan yang tidak diduga dan sangat melelahkan.

Selain mengunjungi wisata di Ternate, saya juga sempat berkunjung ke pulau Tidore yang bersebelahan dengan Ternate, kedua pulau kecil ini memiliki kerajaan yang sampai sekarang masih terdapat artefak dan keturunan rajanya.


Ternate dan Tidore adalah surga kecil yang terselip di wilayah maritim Indonesia, Terima kasih Tuhan atas segala keindahan yang telah engkau sajikan di alam Indonesia ini.
Ternate, 26, 02, 2020

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pakai Rompi Safety dikira Tukang Parkir

Kini bersepeda tidak seperti dahulu sebelum banyaknya kendaraan bermotor, pesepeda kini harus lebih mengantisipasi terjadinya kecelakaan karena ulah para pengendara bermotor yg tidak banyak memberi jalan kepada pesepeda. Namun, selain itu pesepeda juga harus safety dan bagaimanapun caranya ketika kita bersepeda bisa diketahui oleh pengendara lain, salah satunya ialah memakai rompi safety. Saya memiliki pengalaman menarik terhadap rompi safety yang biasa dipakai para pesepeda, cerita ini saya alami ketika sepulang dari mataram lombok menuju jogjakarta. Seperti biasanya saya memilih istirahat di mini market untuk sekedar ngadem ataupun membeli minuman. Nah ketika itu saya istirahat di sebuah mini market di daerah karanganyar solo. Karena waktu sudah maghrib akhirnya saya memilih ngerest lebih lama di mini market itu sambil menikmati minuman dan beberapa cemilan tak lupa selinting tembakau di tangan. Orang berlalu lalang sambil memandang sepedaku yang mungkin terlihat sedikit sa

Bersepeda Membelah Hutan Baluran

Bagi siapapun yang akan bepergian jauh khususnya kearah timur pulau Jawa pasti akan melewati Taman Nasional Baluran jika kita memilih jalur utara atau pantura. Namun, momen ini akan berbeda ketika kita menjalaninya dengan bersepeda, dengan bersepeda kita akan lebih dekat dengan flora dan fauna yang ada di taman nasional baluran yang terletak di kabupaten situbondo. Di sini saya akan menceritakan perjalanan saat melintasi taman nasional baluran menggunakan sepeda ontel bersama kawan saya fasha. Kami berdua start dari rumah bapak Ibturi yang terletak kurang lebih 100m sebelum alas baluran, bapak ibturi adalah salah satu pegiat sepeda ontel di kabupaten situbondo. Kami mulai start jam 07:00 melintasi taman nasional baluran, di sepanjang jalan kami hanya di temani oleh sekelompok monyet-monyet kecil yang sedang mencari makan di pinggir jalan, biasanya banyak pejalan raya yang mengasih beberapa kacang dan makanan lainnya. Medan jalan yang naik turun lagi-lagi menguras banyak tenaga

20.000 Dapet Do'a Apa..?

Sepulang dari expedisi Ziaroh Wali Songo pada mei-juni 2016, saya memilih jalur tengah yaitu dari madura-surabaya-mojokerto-kediri-nganjuk-madiun dan seterusnya sampai di jogja. Sesampainya di hutan mantingan Ngawi saat menuruni jalan, setelah tanjakan yang nggak ada ujungnya, sebuah motor matic menyalipku pelan dari belakang dan menyodorkan uang 20.000 rupiah dan orang itu bilang “tolong doakan saya mas”, lalu saya menjawab ya... Sambil tersenyum. Kemudian saat istirahat saya berfikir 20.000 dapet doa apa ya...? Hehehehe. Bukan saya mau menyepelekan uang 20.000, disini saya berfikir ketika semua orang mengukur segalanya dengan uang. Bukan hanya dalam hal tolong menolong saja, melainkan uang sekarang juga dijadikan tolak ukur bagi para penceramah, di dunia televisi ataupun nyata. Ketika segala sesuatu diukur dengan uang dimanakah harga diri seorang manusia berada, apa iya uang dapat membeli harga diri mereka..? Ya begitulah sekarang yang terjadi, dari mulai penceramah hingga