Langsung ke konten utama

Perempuan Tak Punya Rasa

Dengarlah, aku akan menceritakan tentang kisah ku dan segala dukanya. Saat itu aku baru duduk di kelas dua Sekolah Menengah Pertama, sudah dua tahun merasakan berjarak dengan orang tua. Namun, aku menemukan semangat baru di kota itu, dan mungkin aku sudah menginjak sedikit dewasa hingga mampu merasakan getaran cinta. Aku tak peduli itu cinta monyet atau lain sebagainnya, yang pasti aku merasakan semua itu pertama kalinya, melihat seorang perempuan yang tak tahu asal usulnya lalu merasakan cinta terhadap dirinya. Waktu itu aku sangat ingat, mencari akun facebooknya dan mulai berkenalan dengannya. Perempuan yang baik, itulah yang ada dalam pikaranku saat itu, lalu semakin lama aku semakin sering menghubunginya lewat inbok hingga saat itu aku sempat meminta nomor ponselnya.

Sampai aku heran, ada seseorang yang membuat aku menjadi semangat melakukan hal apapun dalam kehidupan, satu tahun berlalu rasa yang masih aku simpan karena malu untuk mengungkapkannya, walupun setiap saat aku selalu menghubunginya lewat SMS tapi apa boleh buat semua serasa pertemanan biasa saja. Hingga saat itu ujian kenaikan kelas tiba, dan aku menerima SMS darinya “semangat belajarnya ya”, pesan yang singkat namun membuat seluruh sel dalam tubuh bergetar, dan seolah seluruh anggota tubuh di gerakkan oleh kata-kata itu. Dan akupun belajar sangat giat bukan karena ingin naik kelas, melainkan hanya ingin menuruti apa katanya, saat itu aku ingin mengimbanginya karena dia orang yang sangat rajin dan taat akan agama. Satu minggu kemudia ujian berlalu dan yang aku tunggu pengumuman nilai dan urutan rangking kelas wkatu itu. Di hadapan seluruh siswa bapak kepala sekolah mengumumkan hasil ujian seluruh muridnya, dan tibalah giliran kelasku. Urutan rangking satu dan dua namaku tidak di sebutkan, dan akhirnya aku jatuh pada rangking ke tiga, hasil yang memuaskan karena selama dua tahun baru kali itulah aku mendapatkan peringkat tiga besar, dan diapun sama tapi beda kelas.

Malam yang terang dengan bulan sempurna dan di kelilingi ribuan bintang, ponselku berbunyi dengan nada tinggi bertuliskan nama Amelia, ia mengirim sebuah pesan yang berbunyi “selamat ya sudah masuk ke tiga besar, semoga lebih meningkat lagi untuk menghadapi Ujian Nasional.” Aku menjawabnya dengan jari gemetar “iya, kamu juga ya,”. Pesan itu selalu menancap dalam ingatanku, hingga satutahun berlalu dan ternyata entah megapa aku merasa sangat malas untuk belajar dan mengerjakan latihan-latihan soal.

Tepat satu bulan sebelum ujian, aku memberanikan diri untuk menyatakan perasaan citaku kepadanya walau tidak secara langsung melainkan melalui SMS. “Mel, selama ini aku memendam rasa kepadamu” lalu ia menjawab “maksudmu gimana”, “jujur semenjak kita satu forum waktu itu, aku jatuh cinta kepadamu dan rasa itu semakin kuat hingga saat ini”, balasku dengan jari jemari gemetar. Naumun, apa yang terjadi, jawaban yang tidak aku inginkan keluar dari layar handphone ku sendiri, “Maaf Mad, untuk saat ini aku belum bisa menerimamu, aku mau focus menghadapi ujian dulu, bagaimanapun aku harus lulus dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.”.
Semenjak saat itu aku mulai jarang menghubunginya, baik secara langsung maupun via handphone, aku hanya bisa memandang wajahnya saat apel pagi atau saat mau masuk kelas. Namun, semua itu tidak membuatku putus asa, aku menunggu untuk menyatakannya lagi hingga lulus sekolah, aku sudah mengira bahwa saat itu bukanlah waktu yang tepat untuk menyatakan cinta kepadanya, aku sudah paham kalau dirinya seorang yang sangat disiplin dan rajin, mana mau akan menerima cintaku pada saat ujian nasional aka datang.

Dua bulan berjalan dengan cepat, ujian nasional telah usai dan prosesi wisuda akan dilaksanakan seminggu kedepan setelah para siswa/siswi menerima kelulusan. Dengan nilai yang kurang memuaskan aku dinyatakan lulus oleh sekolah, begitupun Amelia yang lulus dengan nilai bagus sekaligus mendapat penghargaan siswi paling disiplin saat itu. Malam menjelang wisuda aku begitu resah ketika semua teman-temanku bersuka ria bersama orang tuanya semenjak sore tadi. Malam itu orang tuaku baru datang menggunakan kereta api Argo lawu menuju kota ini. Sebenarnya aku sudah putus asa dan mengira orang tuaku tidak akan datang diacara wisudaku. Anggapan itu seolah hilang ketika ku jumpa senyum ranum wajah ibu dan ayah di beranda sekolah, dan saat itu juga aku pertama kali melihat kedua orang tua Amelia dan beberapa anggota keluarganya, Ibunya yang tak kalah cantik dengan Amelia, Ayahnya yang tinggi besar membawakan sosok kewibawaan. Aku dan Amelia adalah dua orang pelajar yang memang niat merantau untuk mencari ilmu di kota ini, sedangan kawan-kawan yang lainnya hanya penduduk sekitar saja, jadi kami merasakan rindu yang sama kepada orang tua dan ketika wisuda tiba adalah momen yang paling pas untuk memeluk kedua orang tua untuk sekedar meminta maaf dengan hasil yang aku dapatkan.

Hampir satu  bulan aku menahan rindu untuk tidak melihat wajahnya seperti biasa di sekolah, karena waktu itu aku hampir satu bulan pulang ke kampung, begitupun Amelia ia pulang bersama keluarganya seusai malam wisuda. Namun, bagiku perjuangan ini belum selesai, selama aku di rumah aku kerap menghubungi Amelia, sampai kita tidak lagi canggung untuk memulai percakapan. Dan di situlah aku menganggap waktu yang tepat untuk mempertanyakan tentang pernyataan cintaku padanya. Pagi itu seusai sholat subuh aku menghubunginya lewan SMS “Mel, bagaimana dengan pernyataanku yang kemaren”, pesan itu seakan terkirim saat fajar sedang menampakkan wajahnya diatas langit, namun jawabannya sangat lama hingga matahari terbit belum juga sampai di halaman handphon ku.

Tepat puku 07:45 handphonku berdering tanda pesan masuk dari Amelia, “Maaf Mad, untuk saat ini orang tuaku menyuruh aku untuk fokus ke sekolah dan masa depanku dulu, makanya orang tua ku melarang aku untuk pacaran saat ini”. Pagi yang cerah seolah berubah menjadi gemilang badai, langit mendung yang menyelimuti kepala ku waktu itu, lagi-lagi jawaban maaf itu keluar dari layar handphonku yang di tulis oleh tangan lentik Amelia, yang di ucapkan dalam batin Amelia, dan tak ada jawaban lain, selain menerima semuanya dengan berat hati aku mengatakan “Oh ya sudah Mel, kalau memang semua itu demi kebaikanmu, tapi aku berjanji Mel, aku akan menunggu mu sampai kapanpun, bahkan sampai maut memisahkan kita berdua. Pesanku hanya satu, jika memang ada lelaki yang mencintaimu dia lebih baik dari aku dan kamu juga mencintainya tolong jangan katakan lagi hal yang sama seperti kau mengatakan kepadaku, terimalah cintanya walau tak saling bertemu atau perpegangan tangan yang kebanyakan orang pacaran lakukan, aku tahu kamu begitu sholehah dan aku percaya kamu tidak akan melakukan hal yang agama larang, tapi tolong agama juga mengajarkan agar kita menjaga perasaan satu sama lain, teriakasih sebelumnya atas semangat dan dukungan mu selama ini, dan mohon maaf jika aku terlalu lancang mengatakan itu semua kepadamu”.

Setelah pesan panjang itu ku kirimkan, aku dan Amel tak lagi saling mengirim pesan seperti biasanya, dan aku tak lagi melihatnya dalam keseharian. Karena, saat Sekolah Menengah Atas kita tidak satu sekolah lagi, aku melanjutkan merantau di kota itu dan Amel memilih untuk sekolah di desanya. Apalah daya tagan tak sampai, hingga tiga tahun berlalu aku hanya memendam rasa itu dan wajah Amel hanya ada dalam bayang-bayang dinding kamar sewaktu aku akan  tidur, di ruang kosong yang penuh dengan sepi, di setiap wajah perempuan yang aku jumpai. Aku sama halnya Qaish yang kehilangan sosok Laila perempuan yang ia cintai, aku yang hampir gila kehilangan seorang Amel, cinta pertama dan terakhirku. Dan aku mulai pasrah di saat aku akan memasuki meja perkuliahan, tepat di sepertiga malam dimana leluhur kami mempercayai bahwa doa akan terkabul disaat itu lalu aku melafalkan do’a kepada Tuhan “Tuhan, jika memang ia jodohku, maka jagalah lahir dan batinnya dan pertemukanlah kami di waktu yang tepat”. Doa yang singkat itu seakan terbang kelangit menembus atap-atap rumah yang sudah tak lagi kokoh alias rapuh serapuh hati ini.

Memasuki meja perkuliahan aku sudah tak lagi terpikirkan oleh kisah-kisah lama tentang Amel, aku hanya terfokus pada cita-citaku yang ingin menjadi seorang seniman jebolan kampus seni ternama di Indonesia, walau pekerjaan seni bukanlah pekerjaan yang menjanjikan. Tapi, aku yakin Tuhan akan memberikan jawaban atas hambanya yang bekerja keras.

Komentar

  1. Setiap melihat perempuan lain selalu terngiang wajah amel,
    Ojo koyok wong lemah to les wkwk

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membaca= Melawan

 Ketika sedang maraknya huru-hara di negri ini, ada beberapa anak-anak yang berjuang demi mempertahankan kehidupannya di tengah hutan dari para cukong yang kerap kali membohongi mereka dengan surat-surat yang mereka tidak bisa membacanya, dan harus di cap jempol untuk tanda menyetujuinya.  Lantas cukong itu kembali dengan membawa sejumlah alat pemotong kayu untuk menebang pohon dan membangun lahan dan mengusir kehidupan orang-orang didalamnya dengan alasan surat yang sudah di setujuinya.  Dari situlah saya bilang bahwa membaca adalah melawan, melawan kebodohan, melawan pembodohan. Kita tak mesti sekolah tinggi, kita tak mesti mendapatkan ijasah. mampu membaca dan berhitung tapi kita bisa melawan atas kebijakan yang tidak sesuai dengan pri kemanusiaan dan prikeadilan saja kita sudah sangat merasa berjasa bagi kehidupan kita sendiri.  Membaca melawan ketidak adilan, membaca melawan kesenjangan sosial, membaca melawan segala kasus hak asasi manusia untuk melanjutkan hidupnya s

Prolog

Selamat datang Mungkin anda ingin mengetahui indonesia secara lebih dekat dengan beberapa pengalaman saya tentang daerah-daerah yang saya lalui selama penjelajahan saya menggunakan sepeda di indonesia, Ya, dari mulai suku, adat, budaya, dan agama. Dan mungkin beberapa cerita unik tentang dunia pendidikan atau juga dunia literasi di indonesia yang setiap daerah mempunyai cara berbeda-beda untuk mengembangkan hal tersebut. Dari mulai membahas ekonomi masyarakat, pergerakan pemuda karang taruna, dan bahkan kegiatan pencinta alam. Manusia hidup cuma satu kali saja, maka buatlah hal unik dalam hidupmu, untuk cerita anak cucu kita di hari esok, mungkin beberapa orang menganggap hal yang saya lakukan ialah hal yang gila, tapi saya menganggap masih banyak orang yang lebih gila dari saya, anda mengenal saya berarti anda sudah mengenal salah satu jenis kegilaan pada jiwa manusia heheheheh..... Selama kurang lebih sepuluh bulan saya mengelilingi indonesia, walaupun tidak sampai 34 pro

20.000 Dapet Do'a Apa..?

Sepulang dari expedisi Ziaroh Wali Songo pada mei-juni 2016, saya memilih jalur tengah yaitu dari madura-surabaya-mojokerto-kediri-nganjuk-madiun dan seterusnya sampai di jogja. Sesampainya di hutan mantingan Ngawi saat menuruni jalan, setelah tanjakan yang nggak ada ujungnya, sebuah motor matic menyalipku pelan dari belakang dan menyodorkan uang 20.000 rupiah dan orang itu bilang “tolong doakan saya mas”, lalu saya menjawab ya... Sambil tersenyum. Kemudian saat istirahat saya berfikir 20.000 dapet doa apa ya...? Hehehehe. Bukan saya mau menyepelekan uang 20.000, disini saya berfikir ketika semua orang mengukur segalanya dengan uang. Bukan hanya dalam hal tolong menolong saja, melainkan uang sekarang juga dijadikan tolak ukur bagi para penceramah, di dunia televisi ataupun nyata. Ketika segala sesuatu diukur dengan uang dimanakah harga diri seorang manusia berada, apa iya uang dapat membeli harga diri mereka..? Ya begitulah sekarang yang terjadi, dari mulai penceramah hingga