Jambi sebuah provinsi yang unggul akan sumber daya alam dan perkebunan sawit. Ternyata menyimpan orang-orang yang kasih menjaga adat dan kebudayaan nenek moyangnya, inilah kisah nyata 3 hari bersama orang-orang rimba bukit 12 Muara Bungo Jambi.
Membahas etika orang-orang pedalaman di Indonesia bukanlah suatu hal mudah jika kita tidak terjun langsung kepada mereka sangat pelaku di lapangan, oleh karena itu saya berani memilih judul ini dan menulis bagaimana etika orang-orang pedalaman dengan secara pengalaman real.
Suku Anak rimba atau warga lokal menyebutnya orang kubu, tapi anak rimba sendiri tidak mau di sebut sebagai orang kubu, mereka lebih nyaman di panggil orang rimba atau suku Anak dalam, tidak ada literatur yang jelas mengenai suku ini, tapi mereka menggunakan bahasa Melayu yang sedikit berbeda dari bahasa daerah Jambi atau bahkan melayu Sumatra, dia punya logat sendiri dan cara adat sendiri tidak seperti kebanyakan adat melayu atau Minang yang sering di temui di Sumatera.
Membahas tentang etika tidak akan jauh dengan agama ataupun ketuhanan, berbicara soal agama yang di anut oleh suku Anak dalam mereka merupakan penganut kepercayaan animisme dan dinamisme, mereka memiliki tiga dewa yaitu: harimau, gejo (tapir), pohon besar. Dari ketiga dewa mereka itu tidak ada yang maha pengampun, semuanya maha menghukum. Oleh karena itu masyarakat suku Anak dalam sangat berhati-hati melakukan hal apa pun yang melanggar dengan ketentuan adat.
Adapun adat yang di larang ialah mengotori sungai, dengan tidak BAB dan BAK di sungai, karena adat dari nenek moyang mereka air sungai itu bisa di minum langsung, di larang mencuri. Dari situ kita bisa melihat bagaimana etika orang-orang suku Anak dalam yang hidupnya tidak pernah mengenal listrik, kasur busa, atap genteng, dinding beton, mereka sebegitunya menjaga kelestarian alam mereka, menjaga hutan mereka dari konglomerat yang serakah yang setiap tahun di gunduli demi berdirinya lahan-lahan sawit di taman nasional bukit 12.
Dan ada salah satu adat mereka yang unik ketika di antara mereka ada yang meninggal, yaitu adalah “Ngelamun” atau melupakan kesedihan, jadi di dalam suku ini tidak ada pengastaan kepala suku dengan rakyatnya, mereka satu rasa, satu nasib, bahkan jika ada dari mereka yang meninggal mereka satu rombongan merasakan kesedihannya, dan begitu pun ketika ada yang lahir, mereka merasakan kesenangannya semua. Apakah benar ini yang di maksud komunisme primitif oleh Karl Max dalam bukunya.
Meninggalkan Sumatera kita masuk ke suku Badui di Banten, sudah tidak asing lagi kita mendengar kata suku Badui, Badui sendiri di bagi menjadi dua, Badui dalam dan Badui luar, apa sih perbedaan Badui dalam dengan Badui luar, apakah benar orang-orang Badui luar sudah tidak lagi menjaga adat dengan baik..?
Badui yang kebanyakan masih menganut ajaran Sunda Wiwitan, ajaran ini yang menjadikan pedoman hidup mereka sehari-hari, yang mengajari mereka bagai mana menjaga alam, menjalin persaudaraan antar manusia, dan menyayangi semua makhluk hidup.
Melihat etika suku Badui yang lebih mengedepankan sopan santun dan tata krama kepada siapa pun yang bertamu kepadanya adalah salah satu budi luhur yang mereka jalankan dari nenek moyang mereka hingga sekarang. Selain itu mereka juga memiliki Design rumah yang unik, yaitu atap depan yang pendek dan pintu rumah yang tidak begitu tinggi, itu menandakan bahwa orang yang mau masuk rumah mereka agar menunduk untuk memberi penghormatan kepada tuan rumah.
Selain suku Badui di Jawa Barat juga ada sebuah desa adat di kab.Sukabumi, tepatnya di lereng gunung halimun dan salak, yaitu desa adat cipta gelar, desa adat cipta gelar memiliki idealisme bahwa jika kita baik kepada alam makan alam pun baik kepada kita, dan juga di desa cipta gelar sama sekali tidak bergantung pada negara dari kehidupan mereka.
Mereka bisa juga di bilang orang-orang tradisional yang tidak menolak adanya Modernisme, mereka memiliki pembangkit listrik tenaga air, dan memiliki Channel TV dan radio sendiri, dari seluruh kehidupan mereka sama sekali tidak ada yang bergantung dengan negara, bahkan mereka tidak mau di data oleh negara dengan di buatkan KTP atau kartu keluarga.
Yang unik dari desa adat cipta gelar adalah mereka memiliki cara bercocok tanam yang tidak biasanya orang-orang lakukan, mereka melakukan sistem tanam serentak, dan hasil dari panennya mampu untuk mereka bertahan hidup selama 2 tahun, dan tidak memakai pupuk apa pun untuk tanaman mereka, karena mereka menganggap bahwa tikus, ular, dan serangga itu bukan hama, mereka adalah makhluk hidup yang juga butuh makan, makannya mereka memilih tanam serentak agar hama itu merasa kenyang dan mereka saling berbagi.
Setelah dari Jawa Barat kita bergeser ke pulau terluas di Indonesia, yaitu Kalimantan. Kalimantan yang identik dengan suku Dayak sebenarnya memiliki suku-suku lain yang menghuni pulau itu sejak abad ke 19 awal, di daerah Banjarmasin ada banyak orang-orang Banjar menghuni daerah pesisir sungai Barito sampai ke pesisir pantai, di Pontianak banyak di huni oleh orang Melayu peninggalan Kerajaan Melayu Pontianak, Sambas, dan tanjung Pura.
Orang-orang Dayak yang di kenal dengan kekuatan mistis dan beberapa ke ganasannya ketika mereka perang suku dengan orang-orang Madura,. Yang sebenarnya mereka memiliki jiwa yang baik dan tata krama yang luhur. Bahkan mereka menghormati bukan hanya sesama manusia mereka juga sangat menghormati keberadaan makhluk lain selain manusia. Kadang kita sedikit melupakan keberadaan makhluk lain selain kita yang menjadikan kita sembrono dan seenaknya sendiri.
Ada salah satu adat orang-orang Dayak ketika ingin menikmati apa pun terutama kopi, sebelum kita minum kita tumpahkan sedikit ketanah, begitu pun ketika kita makan, itu salah satu bentuk dari penghormatan mereka kepada makhluk selain mereka. Selain itu ketika bepergian membawa kopi yang sudah di seduh, ketan, nasi kuning kita juga harus membaginya terlebih dahulu, atau kalau tidak mitosnya kita akan terkena sesuatu yang tidak di inginkan.
Kesimpulan dari seluruh cerita tentang adat dan budaya di atas, sebetulnya mengingatkan kita sebagai orang-orang modern agar selalu mendahulukan etika ketika melakukan suatu hal apa pun. Secara tidak langsung mereka jarang atau bahkan tidak pernah mendapatkan pendidikan secara formal sebagaimana orang-orang di kota, tapi mengapa mereka memiliki etika dan sopan santun yang luar biasa yang mana di sekolah formal di unggulkan.
Kita belajar menjadi tamu alam, tamu manusia, kemudian menjadi tamu Tuhan sangat maha pencipta yang menjadi landasannya adalah akhlak, budi pekerti, sopan santun, dan etika, oleh karena itu jikalau saja kita menghormati alam makan alam pun akan menghormati manusia, begitu pun sesama manusia, bahkan Tuhan dan manusia, walaupun sifat Tuhan tidak sama dengan sifat manusia.
Mungkin itu sedikit opini dari saya tentang etika menjadi landasan utama orang-orang di suku pedalaman di Indonesia, kurang salahnya mohon maaf.
Indramayau, 31/12/21
Komentar
Posting Komentar